Monday, December 15, 2008

Konsepsi Pelayanan Publik

(Teori Pelayanan Publik : Mei 2008)
Pelayanan publik sebagai suatu proses kinerja organisasi (birokrasi), keterikatan dan pengaruh budaya organisasi sangatlah kuat. Dengan kata lain, apapun kegiatan yang dilakukan oleh aparat pelayanan publik haruslah berpedoman pada rambu-rambu aturan normatif yang telah ditentukan oleh organisasi publik sebagai perwujudan dari budaya organisasi publik. Oleh karena itu
Dennis A.Rondinelli (1981) pernah mengingatkan bahwa penyebab kegagalan utama dalam melaksanakan orientasi pelayanan publik ini (jelasnya, tugas desentralisasi) adalah : Kuatnya komitmen budaya politik yang bernuansa sempit; kurangnya tenaga-tenaga kerja yang terlatih dan trampil dalam unit-unit lokal; kurangnya sumber-sumber dana untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab; adanya sikap keengganan untuk melakukan delegasi wewenang; dan kurangnya infrastruktur teknologi dan infra struktur fisik dalam menunjang pelaksanaan tugas-tugas pelayanan publik.

Demikian juga Malcolm Walters (1994) menambahkan bahwa kegagalan pelayanan publik ini disebabkan karena aparat (birokrasi) tidak menyadari adanya perubahan dan pergeseran yang terjadi dalam budaya masyarakatnya dari budaya yang bersifat hirarkhis, budaya yang bersifat individual, budaya yang bersifat fatalis, dan budaya yang bersifat egaliter. Pelayanan publik yang modelnya birokratis cocok untuk budaya masyarakat hirarkhis; pelayanan publik yang modelnya privatisasi cocok untuk budaya masyarakat individual (yang anti hirarkhis); pelayanan publik yang modelnya kolektif cocok untuk budaya masyarakat fatalis (yang mendukung budaya hirarkhis dan anti budaya individu) sedangkan pelayanan publik yang modelnya memerlukan pelayanan cepat dan terbuka cocok untuk budaya masyarakat egaliter (yang anti budaya hirarkhis, anti budaya individu dan anti budaya fatalis).

Salah satu fungsi sekaligus tugas utama birokrasi publik (pemerintah) adalah memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat (pelayanan prima). Dalam teori pelayanan publik, pelayanan prima (excellent service) dapat diwujudkan jika ada standar pelayanan minimal (SPM).


SPM adalah tolok ukur yang dipergunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pelayanan dan acuan penilaian kualitas pelayanan sebagai komitmen atau janji dari penyelenggara negara kepada masyarakat untuk memberikan pelayanan yang berkualitas. Dalam Rancangan Undang-undang Pelayanan Publik, standar pelayanan ini setidaknya-tidaknya berisi tentang: dasar hukum, persyaratan, prosedur pelayanan, waktu penyelesaian, biaya pelayanan, produk pelayanan, sarana dan prasarana, kompetensi petugas pemberi pelayanan, pengawasan intern, penanganan pengaduan, saran dan masukan, dan jaminan pelayanan. [1]


Kata kualitas memiliki banyak definisi yang berbeda dan bervariasi dari yang konvensional sampai yang lehih strategic. Menurut Yayasan Indonesia Emas berpendapat bahwa :


Definisi konvensional dari kualitas biasanya menggambarkan karakteristik langsung dari suatu produk seperti : performansi (performance), keandalan (realibility), mudah dalam penggunaan (easy of use), estetika (esthetics), dan sebagainya. [2]


Bagaimanapun para manajer dari perusahaan yang sedang berkompetisi dalam pasar global memberikan perhatian serius pada definisi strategic, yaitu :Definisi strategic menyatakan bahwa kualitas adalah suatu yang mampu memenuhi keinginan atau kebutuhan pelanggan (meeting the needs of customers) [3]


Kualitas seringkali diartikan sebagai kepuasan pelanggan. Dalam ISO 8402, kualitas didefinisikan sebagai totalitas dari karakteristik suatu produk yang menunjang kemampuannya untuk memuaskan kebutuhan yang dispesifikasikan atau ditetapkan.


Total wuality
adalah total philosophy, suatu paradigm total tentang perbaikan kontinyu dalam empat dimensi, yaitu : [4]
  1. Pengembangan perorangan dan professional
  2. Hubungan interpersonal
  3. Efektifitas managerial
  4. Produktivitas organisasi

Pengertian total philosophy diatas ialah bahwa kualitas bukanlah suatu program akan tetapi berakar dalam prinsip-prinsip seperti keyakinan, harapan, rendah hato, kerja keras, konsisten dalam tujuan, perbaikan, progress, nilai-nilai moral dan kebenaran yang harus menjadi buadaya kehidupan organisasi.

Apabila seluruh karyawan organisasi tidak menghayati prinsip-prinsip tersebut maka penerapan metode saja tidak cukup untuk dapat membuat produk, jasa dan hubungan kerja yang berkualitas. Organisasi harus menetapkan rencana-rencana dan menetapkan proses pengukuran, pemantauan, analisis dan peningkatan yang diperlukan agar menjamin kesesuaian dari produk, menjamin kesesuaian dari system manajemen kualitas, dan meningkatkan terus menerus efektifitas dari sistem manajemen kualitas.


Peningkatan kualitas dapat didefinisikan sebagai suatu metodologi pengumpulan dan analisis data kualitas, serta menentukan dan mengintepretasikan pengukuran-pengukuran yang menjelaskan tentang proses dalam suatu sistem industri, untuk meningkatkan kualitas produk, guna memenuhi kebutuhan dan ekspektasi pelanggaan. [5] Oleh sebab itu peningkatan kualitas merupakan aktivitas teknik dan manajemen melalui mengukur karakteristik kualitas dari produk, kemudian membandingkan hasil pengukuran dengan spesifikasi produk yang diinginkan pelanggan, serta mengambil tindakan peningkatan yang tepat apabila ditemukan perbedaan diantara kinerja aktual dan standar.


Vincent juga berpendapat bahwa terminology kualitas didefinisikan sebagai :


Konsistensi peningkatan atau penurunan variasi karakteristik kualitas dari suatu produk barang atau jasa yang dihasilkan, agar memenuhi kebutuhan yang telah dispesifikasikan, gunha meningkatkan kepuasan pelanggan internal maupun eksternal. [6]


Dengan demikian pengertian kualitas dalam konteks peningkatan proses adalah bagaimana baiknya kualitas suatu produk itu memenuhi spesifikasi dan toleransi yang ditetapkan oleh bagian disain dan pengembangan dari suatu perusahaan. Spesifikasi dan toleransi yang ditetapkan oleh bagian disain dan pengembangan produk harus berorientasi kepada kebutuhan dan ekspektasi pelanggan.


Menurut Garvin ada 5 (lima) perspektif kualitas yaitu pendekatan yang mewujudkan kualitas suatu produk : [7]
  1. Trancendental Approach
  2. Product-based Approach
  3. User-based Approach
  4. Manufacturing Approach
  5. Value-based Approach

Bagi Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Bangka Belitung, perspektif kualitas lebih mengarah kepada pendekatan user-based approach dan manufacturing approach. Hal ini dikarenakan
pengembangan sumber daya manusia aparatur dikaitkan dengan optimalisasi pelayanan publik serta Sebagai sumbangan pemikiran dalam meningkatkan kualitas SDM aparatur pada Jajaran Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Bangka Belitung guna mengoptimalkan pelayanan publik.

Kita harus memahami bahwa layanan (service) berasal dari orang-orang, bukan dari organisasi atau perusahaan.
Suatu layanan dapat terbentuk karena adanya proses pemberian layanan tertentu dari pihak penyedia layanan kepada pihak yang dilayani baik yang dilakukan atas dasar kesukarelaan masing-masing pihak (non-komersial), tujuan komersil ataupun karena orang-orang mempunyai keterikatan kerja dalam organisasi yang bertujuan komersil ataupun non komersil. [8]

Dengan demikian layanan itu mungkin diberikan karena satu pihak berkehendak membantu pihak lain secara sukarela, atau adanya permintaan dari pihak lain kepada satu pihak untuk membantunya secara sukarela. Pelayanan adalah suatu usaha untuk membantu menyiapkan (mengurus) apa yang diperlukan orang lain. [9]


Catherine DeVrye menyatakan bahwa pelayanan didalamnya terdapat unsur : [10]


S Self-esteem---Memberi nilai pada diri sendiri

E Exceed expectations---Melampaui apa yang diharapkan

R Recover---Rebut kembali

V Vision---Visi

I Improve---Peningkatan

C Care---Perhatian

E Empower---Pemberdayaan


Pelayanan adalah upaya untuk membantu menyiapkan, menyediakan atau mengurus keperluan orang lain. [11] Menurut startus keterlibatannya dengan lembaga yang dilayani dapat dibedakan adanya 2 (dua) golongan pelanggan : [12]
  1. Pelanggan eksternal : semua pelanggan yang berasal dari luar organisasi
  2. Pelanggan internal : yaitu para karyawan atau unit-unit lain didalam organisasi yang memperoleh pelayanan dari unit yang kita miliki.

Zeitthaml, Parasuraman dan Berry mengemukakan mengenai mutu pelayanan, ”The service quality can be defined as the extent of discrepancy between customers expectations or desires and their perception". [13]

Mutu pelayanan dibentuk oleh dua elemen yaitu : pelayanan yang diharapkan (expected service) dan pelayanan yang diterima (perceived service). Kedua elemen tersebut bila dibandingkan akan mengarah kepada penilaian mutu pelayanan yang diberikan, sebagaimana penilaian Parasuraman, et,al bahwa :


Jika kenyataan (perceived) lebih baik yang diharapkan (expected), maka layanan dapat dikatakan bermutu sedangkan jika kenyataan kurang dari yang diharapkan, maka layanan tidak bermutu. Dan apabila kenyataan sama dengan harapan, maka layanan disebut memuaskan. [14]


Dalam studinya Parasuraman menyimpulkan terdapat 5 (lima) dimensi SERVQUAL (dimensi kualitas pelayanan) sebagai berikut : [15]
  1. Tangibles, atau bukti fisik yaitu kemampuan suatu perusahaan dalam menunjukkan eksistensinya kepada pihak eksternal. Penampilan dan kemampuan sarana dan prasarana fisik perusahaan dan keadaan lingkungan sekitarnya adalah bukti nyata dari pelayanan yang diberikan oleh pemberi jasa. Yang meliputi fasilitas fisik (gedung, dan lain sebagainya), perlengkapan dna peralatan yang digunakan (teknologi), serta penampilan pegawainya.
  2. Reliability, atau keandalam yaitu kemampuan organisasi untuk memberikan pelayanan sesuai yang dijanjikan secara akurat dan terpercaya. Kinerja harus sesuai dengan harapan pelanggan yang berarti ketepatan waktu, pelayanan yang sama untuk semua pelanggan tanpa kesalahan, sikap yang simpatik, dan dengan akurasi yang tinggi.
  3. Responsiveness, atau ketanggapan yaitu suatu kemampuan untuk membantu dan memberikan pelayanan yang cepat (responsif) dan tepat kepada pelanggan, dengan penyampaian informasi yang jelas. Membiarkan konsumen menunggu tanpa adanya suatu alasan yang jelas menyebabkan persepsi negatif dalam kualitas pelayanan.
  4. Assurance, atau jaminan dan kepastian yaitu pengetahuan, kesopansantunan, dan kemampuan para pegawai perusahaan untuk menumbuhkan rasa percaya para pelanggan kepada perusahaan. Terdiri dari beberapa komponen antara lain, komunikasi (communicatioon), kredibilitas (credibility), keamanan (security), kompeten (competence), dan sopan santun (courtesy).
  5. Empathy, yaitu memberikan perhatian yang tulus dan bersifat individual atau pribadi yang diberikan kepada para pelanggan dengan berupaya memahami keinginan konsumen. Dimana suatu perusahaan diharapkan memiliki pengertian dan pengetahuan tentang pelanggan, memahami kebutuhan pelanggan secara spesifik, serta memiliki waktu pengoperasian yang nyaman bagi pelanggan. [cht]

_______________
  1. http://www.unila.ac.id/~fisip-admneg/mambo - Ilmu Administrasi Negara FISIP UnilaPowered by Mambo Generated: 26 May, 2008
  2. Vincent Gasperz Z, Manajemen Kualitas, PT Gramedia, Jakarta, 1997, hal 4
  3. Ibid
  4. Ibrahim Buddy, Total Quality Manajement, Percetakan Karya Unipress, Jakarta, 2000, hal 13
  5. Vincent Gasperz Z, Metode Analisis untuk Peningkatan Kualitas, PT. Gramedia, Jakart, 2003, hal 2
  6. Ibid
  7. M.N. Nasution, Manajemen Mutu Terpadu, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2001, hal 19
  8. Atep Barata, Dasar-dasar Pelayanan Prima, PT. Gramedia, Jakarta, 2004, hal 9
  9. Soetopo, Pelayanan Prima, LAN, Jakarta, 1999, hal. 4
  10. Catherine DeVrye, Good Service is Good Business (7 Strategi sederhana menuju Sukses), PT. Gramedia, Jakarta, 2001, hal 6
  11. Eko Supriyanto, Operasionalisasi Pelayanan Prima, LAN, Jakarta, 2001, hal 9
  12. Ibid, hal 11
  13. Zeithaml, Parasuraman, dan Berry, Delivering Quality Service, The Press Adividion of Macmillan, 1990, hal 19]
  14. Parasuraman dalam Lupiyoadi, Manajemen Pemasaran Jasa, Salemba Empat, Jakarta, 2001, hal 148
  15. Ibid





No comments: