Wednesday, December 31, 2008

In Memoriam Aboe Bakar bin Abdul Azis (7 Hr)

Rabu, 31 Desember 2008, 7 (tujuh) hari setelah dipanggil menghadap keharibaan Allah SWT dengan penuh kasih sayang suami, eyang, buyut, bapak, mertua dan kakak kami Aboe Bakar bin Abdul Azis, masih terasa suasana kehilangan. Rasa kehilangan yang masih dirasakan oleh sebagian besar keluarga besarnya. Terutama Isteri, Ibu dan eyang Eny Fatma binti Abdurrahman, raut wajah kehilangan yang ditutupi dengan ketegaran karena sudah melakukan yang terbaik buat Aboe Bakar bin Abdul Azis selama hidup, sakit hingga Malaikat Izrail menjemputnya. Namun kami sudah sepakat menyatakan kehikhlasan ditinggal menghadap Allah SWT yang Maha Pencipta, dan yang memiliki Kuasa atas Hidup dan Mati.

Semua dzat yang hidup pasti akan mati dan kembali kepada Dzat yang memiliki Hidup, Ya Allah.. ampunilah dosa yang disengaja maupun tidak disengaja yang pernah dilakukan oleh suami, eyang, buyut, bapak, mertua dan kakak kami Aboe Bakar bin Abdul Azis, tempatkanlah beliau ditempat yang terbaik disisi-Mu. Berikanlah keluarga kami yang ditinggalkan kekuatan dan ketabahan dalam menghadapi cobaan yang engkau berikan. Cinta kami kepada-Mu ya Allah dan Rasul-Mu Muhammad SAW, tidak akan tergantikan terhadap cinta kami kepada makhlukmu... namun, perkenankan ya Allah kami menyatakan rasa cinta kepada suami, eyang, buyut, bapak, mertua dan kakak kami Aboe Bakar bin Abdul Azis sebagai bukti bakti kami seorang isteri, cucu, anak dan adik dari seorang Aboe Bakar.

Ya Allah, berkahilah dengan keagungan Rahmat, Hidayah dan Inayah-Mu perjalanan hidup kami tanpa kehadiran figur yang menjadi suri tauladan didalam keluarga kami. Amin..[cht]



Friday, December 26, 2008

Terima Kasih

Bismillahirrahmaanirrahiim
Assalaamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Innalillahi wainnaailaihi raaji'un...

Yang kami hormati :
Bapak Ibu Pejabat Eselon I, II, III, IV beserta Staf di lingkungan BPSDM Hukum & HAM, Sekretariat Jenderal dan Ditjen Imigrasi, Provost Polda Metro Jaya, Garnisun, Batalion Bekang, PAMDEP Departemen Hukum dan HAM RI (Purwandani HP, Yongki Edward Majakirto, Hendrik, temen2 BPSDM Hukum & HAM, dkk) dan banyak lagi pihak yang tidak dapat kami sebut satu persatu.

Pertama-tama, kami atas nama Keluarga Besar Letkol CIN (Purn) Aboe Bakar bin Abdul Azis menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas curahan pikiran, tenaga dan material terutama saat suami, buyut, eyang, bapak, mertua, kakak kami sakit, saat-saat menghembuskan nafas terakhir dikarenakan sakit (Kamis, 25 Desember 2008 pukul 15.40 wib), hingga proses pemakaman di TMP Kalibata - Jakarta.

Kami sangat menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam hal pelayanan akomodasi dan konsumsi kepada hadirin pelayat dan juga masalah koordinasi dengan pihak protokol garnisun, pasukan jaga malam dan pasukan kehormatan. Oleh karena itu, kami atas nama keluarga menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya kepada semua pihak serta tidak ada balasan apapun yang lebih baik atas keikhlasan dan kebaikan Bapak/Ibu/Saudara/Saudari sekalian, kecuali teriring do'a agar seluruh pihak yang terlibat dalam proses kegiatan tersebut diatas mendapatkan anugerah kesehatan, kemurahan rejeki dan ganjaran dari Allah SWT, sesuai dengan amal ibadahnya. Amin. Sekali lagi, kurang dan lebihnya kami ucapkan terima kasih.

Wabillahitaufiq wal hidayah wassalaamu'alaikum warrahmatullahi wabarakatuh. [cht]

Keluarga Besar
Alm. Letkol CIN (Purn) Aboe Bakar bin Abdul Azis
Jl. Pulomas Barat X/17 - Jakarta Timur 13210





Wednesday, December 24, 2008

Selamat Tahun Baru


Saudara-saudara dan Temen-temenku yang terhormat dan saya cintai... saya beserta keluarga mengucapkan Selamat Tahun Baru Masehi 2009 dan Selamat Tahun Baru Islam 1430 Hijriyah, semoga di Tahun Baru anda semua selalu diberikan kesehatan, kemurahan rejeki serta kesuksesan dalam berkarir oleh Allah Subhanahu wata'ala... Amin.. dan tetap semangat...!! [cht]





Sunday, December 21, 2008

Kehumasan 2008










Kata temen-temen, baru Diklat ini anggotanya (peserta) gak ada yang nyanun... alias bete dan nge-betein... SENYUM semua.... DAN gila.. hampir tiap malam ada kegiatan entertainment... sampai akhirnya kita merasakan waktu yang kurang untuk Diklat ini... tapi sungguh bukan itu yang menyebabkan kita menjadi betah... tapi memang Diklat ini menyenangkan dan apalagi ANGGOTAnya... wuih... pasti pada kagak lupa kan.... selamat deh, mudah2an semua temen2ku yang di Pusat dan Daerah pada Sukses dalam berkarir ye... amin... Salam untuk keluarga semua... [cht]





Mekanisme Perencanaan Program Diklat

(TKA - Bab III, 2008) Dalam melakukan analisis kebutuhan individu akan pelatihan, pimpinan perlu menilai faktor-faktor apa yang mendorong perlunya suatu program pelatihan. Umpan balik dari hasil penilaian kinerja merupakan salah satu sumber informasi internal tentang apakah pelatihan bagi individu atau kelompok tertentu diperlukan saat ini.

Penentuan kebutuhan-kebutuhan pelatihan menurut Henry Simamora (1999) memerlukan tiga tipe analisis :

Analisis organisasional
Analisis organisasional (organizational analysis) adalah pemeriksaan jenis-jenis permasalahan yang dialami organisasi dan dimana permasalahan itu berada di dalam perusahaan. Analisis organisasional mencoba menjawab pertanyaan dimana sebaiknya dilakukan titik berat pelatihan di dalam perusahaan dan faktor-faktor apa yang dapat mempengaruhi pelatihan.

Analisis operasional
Analisis Operasional (operational analysis) adalah proses menentukan perilaku-perilaku yang dituntut dari pemegang jabatan dan standar-standar kinerja yang mesti dipenuhi. Analisis operasional sangat tergantung pada kemampuan seorang ahli untuk menentukan perilaku-perilaku yang tepat dan kuantitas serta kualitas perilaku-perilaku tersebut untuk melaksanakan sebuah pekerjaan.

Analisis personalia
Analisis personalia (Personnel analysis) mengidentifikasi kesenjangan antara kebutuhan-kebutuhan kerja dan organisasi yang teridentifikasi dengan karakteristik-karakteristik dari masing-masing karyawan. Perbedaan antara kinerja yang diharapkan dengan kinerja sesungguhnya adalah kebutuhan pelatihan individu. Standar kinerja, yang ditentukan dalam tahap analisis operasional merupakan kinerja yang diinginkan. Data kinerja individu, nilai diagnostik karyawan oleh penyelia mereka, catatan-catatan kinerja yang disimpan karyawan dalam formulir harian mereka, survai sikap, wawancara, atau tes dapat menyodorkan informasi tentang kinerja aktual terhadapnya setiap karyawan dapat dibandingkan dengan tolok ukur-tolok ukur kinerja yang dikehendaki. Kesenjangan antara kinerja aktual dan yang diinginkan dapat diisi oleh pelatihan. [cht]





Wednesday, December 17, 2008

J Co Meeting Dec' 2008



(Citos, 17 Des 2008) Sambil menikmati Hot Choccolate dan satu duz Donut J Co Cilandak Town Square, pimpinan rombongan Ibu Susy Susilawati, SH., MH (Candidate Doctor), Bapak DR. Asep Kurnia, Kristomo, SS (Staf Ibu Susy), Hendri Guntoro, S.Kom (Biro Perencanaan) serius berdiskusi tentang pekerjaan masing-masing. Disisi lain, mas Hendri sibuk dengan laptop-nya untuk menyiapkan create new mailing list-nya pak Asep. Sampai akhirnya ketemu keinginan untuk ngerjain para pejabat di daerah agar terbiasa dengan teknologi informasi. Perlu diketahui, yang sedang ngumpul ini, concern banget terhadap Teknologi Informasi, sehingga ngobrolnya gak jauh-jauh dari internet, email, blog, pelayanan publik, penyuluhan hukum dan banyak hal lainnya. Oleh karena itu kita menyebutnya dengan "J Co Meeting Dec' 2008". [cht]





Monday, December 15, 2008

Public Organization dan Public Profit Organization

(Akuntabilitas Publik & Pengawasan : Okt 2007)
Selaras dengan perkembangan paradigma ilmu manajemen sumber daya manusia, bahwa faktor manusia dalam suatu organisasi merupakan aset yang sangat berharga. Peran pegawai sebagai salah satu unsur pendukung berjalannya roda organisasi harus dikelola dengan strategi yang tepat dan disesuaikan dengan nilai-nilai yang berlaku di dalam organisasi tersebut.

Pengelolaan pegawai yang sesuai dengan kompetensi yang dimiliki juga menjadi keharusan bagi organisasi penyedia pelayanan publik. Pemberian pelayanan tidak akan berjalan dengan baik apabila tidak didukung oleh pegawai yang memiliki kemampuan yang baik dibidang jasa pelayanan. Bahkan citra buruk yang masih melekat pada sebagian besar pelayanan publik di Indonesia salah satunya disebabkan masih kurang profesionalnya para petugas pada organisasi pelayanan publik. Kenyataan ini menyadarkan kita semua akan perlunya pemberian perhatian yang khusus pada para pegawai, khususnya yang bertugas langsung dalam penyediaan pelayanan publik.

Karakteristik Organisasi Pelayanan Publik.
Karakteristik penyediaan pelayanan publik oleh pemerintah antara lain adalah :
  1. memiliki dasar hukum yang jelas dalam penyelenggaraanya;
  2. memiliki kelompok kepentingan yang luas termasuk kelompok sasaran yang ingin dilayani (wide stakeholder);
  3. memiliki tujuan sosial;
  4. dituntut untuk akuntabel kepada publik;
  5. memiliki konfigurasi indikator kinerja yang perlu kelugasan (komplex dan debated performance indicators); dan
  6. seringkali menjadi sasaran isu politik, serta
  7. Problem yang dihadapi multi dimensi.

Berbeda dengan pelayanan yang diberikan oleh pemerintah, penyediaan pelayanan oleh sektor swasta memiliki karakteristik :
  1. didasarkan kepada kebijakan dewan direksi (board of directors);
  2. terfokus pada pemegang saham (shareholder) dan manajemen;
  3. memiliki tujuan mencari keuntungan;
  4. harus akuntabel pada kalangan terbatas (limited shareholders);
  5. kinerjanya ditentukan atas dasar kinerja manajemen, termasuk didalamnya kinerja finansial; serta
  6. tidak terlalu terkait dengan isu politik.

Perbedaan Sifat dan Karakteristik Organisasi Sektor Publik dengan Sektor Swasta, antara lain :


Berbagai pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah tersebut masih menimbulkan persoalan. Kelemahan mendasar antara lain: Pertama, adalah kelemahan yang berasal dari sulitnya menentukan atau mengukur output maupun kualitas dari pelayanan yang diberikan oleh pemerintah. Kedua, pelayanan pemerintah tidak mengenal ? bottom line? artinya seburuk apapun kinerjanya, pelayanan pemerintah tidak mengenal istilah bangkrut. Ketiga, berbeda dengan mekanisme pasar yang memiliki kelemahan dalam memecahkan masalah eksternalities, organisasi pelayanan pemerintah menghadapi masalah berupa internalities.

Artinya organisasi pemerintah sangat sulit mencegah pengaruh nilai-nilai dan kepentingan para birokrat dari kepentingan umum masyarakat yang seharusnya dilayaninya. Sementara itu karakteristik pelayanan pemerintah sebagian besar bersifat monopoli, sehingga tidak menghadapi permasalahan persaingan pasar dan menjadikan lemahnya perhatian pengelola pelayanan publik akan penyediaan pelayanan yang berkualitas. Lebih buruk lagi kondisi ini menjadikan sebagian pengelola pelayanan memanfaatkan untuk mengambil keuntungan pribadi, dan cenderung mempersulit prosedur pelayanannya.

Akibat permasalahan tersebut, citra buruk pada pengelolaan pelayanan publik masih melekat sampai saat ini sehingga tidak ada kepercayaan masyarakat pada pengelola pelayanan. Kenyataan ini merupakan tantangan yang harus segera diatasi, terlebih pada era persaingan bebas pada saat ini. Profesionalitas dalam pengelolaan pelayanan publik dan pengembalian kepercayaan masyarakat kepada pemerintah harus diwujudkan.

Hambatan Kinerja Aparatur Organisasi Pelayanan Publik.
Upaya penyediaan pelayanan yang profesional tidak akan terwujud apabila tidak didukung oleh pegawai yang memiliki kemampuan yang handal. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya organisasi pelayanan publik masih dinilai tidak profesional dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Penyebab utama dari rendahnya profesionalitas dalam organisasi publik adalah petugas pengelola pelayanan. Sikap tidak profesional ini selain dikarenakan salah satu karakteristik dari pelayanan publik yang tidak memiliki persaingan ini, sesungguhnya juga disebabkan beberapa faktor dibawah ini 1):
  1. Role conflict. Permasalahan ini muncul dikarenakan pegawai menghadapi persoalan antara mengutamakan kepuasan kepada pelanggan internal (pimpinan organisasi) ataukah mengutamakan kepuasan pelanggan eksternalnya (masyarakat).
  2. Role ambiguity. Terjadi dikarenakan ketidaktahuan pegawai akan apa yang menjadi harapan pimpinan akan pelayanan yang disediakan dan bagaimana cara memenuhi harapan tersebut.
  3. Poor employee job fit. Dalam suatu organisasi pemerintah seringkali dijumpai ketidaksesuaian antara kemampuan yang dimiliki pegawai dengan pekerjaan yang harus dilakukan. Hal tersebut berakibat mereka tidak dapat melakukan pekerjaan sebagaimana mestinya.
  4. Poor technology job-fit. Kinerja pegawai sangat dipengaruhi oleh peralatan maupun tehnologi yang mereka pergunakan dalam memberikan pelayanan. Terlalu minim peralatan serta tehnologi yang dipergunakan akan berakibat pelayanan yang diberikan tidak dapat sesuai dengan yang diharapkan.
  5. Inappropriate supervisory control system. Tidak adanya sistem evaluasi dan penghargaan dalam instansi pemerintah. Kecendrungannya organisasi melihat kinerja pegawai melalui hasil kerja mereka, dimana output control sistem sering kali tidak sesuai dengan tujuan dari pelayanan melainkan didasarkan pada tujuan lain dari organisasi.
  6. Lack of perceived control. Permasalahan ini muncul diakibatkan ketidakmampuan pegawai dalam menyelesaikan permasalahan yang muncul dalam proses pemberian pelayanan yang disebabkan wewenang yang tidak mereka miliki sehingga mereka juga tidak terlatih untuk mengatasi permasalahan yang muncul dengan lebih baik.
  7. Lack of team work. Tidak adanya kerja sama antara pegawai dan pimpinan organisasi dalam memberikan pelayanan akan berakibat buruk terhadap kinerja yang dihasilkan.
Berbagai persoalan di atas merupakan hal-hal yang harus mendapat perhatian lebih dari pimpinan organisasi publik untuk memperbaiki kinerja pelayanan publik. Berbagai kebijakan dibidang pelayanan tidak akan berjalan dengan baik apabila aparatur penyedia pelayanan masih banyak menghadapi permasalahan internal organisasi.

Tuntutan Pelayanan Publik
Tuntutan kualitas dan kuantitas jasa pelayanan publik oleh pengguna (user) semakin meningkat, dipihak operator pelayanan publik menghadapi kendala dalam menyajikan jasa layanan publik. Di pihak lain kualitas dan kuantitas yang diinginkan belum terpenuhi.
Transparansi, akuntabilitas, kesetaraan dalam pelayanan publik diperlukan untuk mengatasi kesenjangan pihak-pihak yang terkait dalam pelayanan publik dituntut pula regulator yang mampu mengalokasikan sumber daya yang ada, sehingga terjadi keseimbangan pihak-pihak yang terkait dalam layanan publik. Di luar pengguna jasa pelayanan publik (non user) perlu diperhatikan kepentingannya, khususnya tuntutan lingkungan.

Berbagai kebijakan di bidang pelayanan.
Berbagai usaha telah dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) telah merevisi Kep Men PAN No. 81/1993 tentang Pedoman Tatalaksana Pelayan Umum melalui Kep Men PAN No. 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik sebagai upaya lebih lanjut terhadap perbaikan pelayanan publik. Di dalam Kep Men PAN tersebut memuat asas-asas pelayanan publik seperti transparansi; akuntabilitas; kondisional; partisipatif; kesamaan hak serta keseimbangan hak dan kewajiban. Sedangkan prinsip-prinsip penyelenggaraan pelayanan publik seperti yang termuat dalam kebijakan tersebut adalah kesederhanaan; kejelasan; kepastian waktu; akurasi; keamanan; tanggung jawab; kelengkapan sarana dan prasarana; kemudahan akses; kedisiplinan; kesopanan dan keramahan; serta kenyamanan.

Upaya peningkatan kompetensi aparatur dilakukan pemerintah dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 101 tahun 2000 tentang Pendidikan dan Pelatihan Jabatan Pegawai Negeri Sipil (PNS), bahwa tujuan diklat antara lain untuk meningkatkan pengetahuan, keahlian, keterampilan, dan sikap untuk dapat melaksanakan tugas jabatan secara profesional dengan dilandasi kepribadian dan etika PNS sesuai dengan kebutuhan instansi, sedangkan yang menjadi sasaran diklat adalah terwujudnya PNS yang memiliki kompetensi yang sesuai dengan persyaratan jabatan masing-masing. Kompetensi yang dimaksudkan dalam peraturan tersebut adalah kemampuan dan karakteristik yang dimiliki oleh seorang PNS, berupa pengetahuan, keterampilan, dan sikap perilaku yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas jabatannya.

Dalam prakteknya, setiap aparatur sejak mulai yang bersangkutan menjadi CPNS sampai dengan menduduki jabatan tertentu harus mengikuti diklat-diklat tertentu yang didisain untuk membentuk memiliki kompetensi-kompetensi tertentu yang mengarah pada pengelolaan organisasi publik yang berkualitas termasuk didalamnya dalam pengelolaan pelayanannya berdasarkan asas-asas sistem kepemerintahan yang baik. Kompetensi yang diharapkan, mampu membuat program dan kegiatan sesuai dengan visi, misi dan strategi yang didasarkan pada prinsip-prinsip good governance. [cht]
_____________
1) Parasuraman Dkk : 1990





Konsepsi Pelayanan Publik

(Teori Pelayanan Publik : Mei 2008)
Pelayanan publik sebagai suatu proses kinerja organisasi (birokrasi), keterikatan dan pengaruh budaya organisasi sangatlah kuat. Dengan kata lain, apapun kegiatan yang dilakukan oleh aparat pelayanan publik haruslah berpedoman pada rambu-rambu aturan normatif yang telah ditentukan oleh organisasi publik sebagai perwujudan dari budaya organisasi publik. Oleh karena itu
Dennis A.Rondinelli (1981) pernah mengingatkan bahwa penyebab kegagalan utama dalam melaksanakan orientasi pelayanan publik ini (jelasnya, tugas desentralisasi) adalah : Kuatnya komitmen budaya politik yang bernuansa sempit; kurangnya tenaga-tenaga kerja yang terlatih dan trampil dalam unit-unit lokal; kurangnya sumber-sumber dana untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab; adanya sikap keengganan untuk melakukan delegasi wewenang; dan kurangnya infrastruktur teknologi dan infra struktur fisik dalam menunjang pelaksanaan tugas-tugas pelayanan publik.

Demikian juga Malcolm Walters (1994) menambahkan bahwa kegagalan pelayanan publik ini disebabkan karena aparat (birokrasi) tidak menyadari adanya perubahan dan pergeseran yang terjadi dalam budaya masyarakatnya dari budaya yang bersifat hirarkhis, budaya yang bersifat individual, budaya yang bersifat fatalis, dan budaya yang bersifat egaliter. Pelayanan publik yang modelnya birokratis cocok untuk budaya masyarakat hirarkhis; pelayanan publik yang modelnya privatisasi cocok untuk budaya masyarakat individual (yang anti hirarkhis); pelayanan publik yang modelnya kolektif cocok untuk budaya masyarakat fatalis (yang mendukung budaya hirarkhis dan anti budaya individu) sedangkan pelayanan publik yang modelnya memerlukan pelayanan cepat dan terbuka cocok untuk budaya masyarakat egaliter (yang anti budaya hirarkhis, anti budaya individu dan anti budaya fatalis).

Salah satu fungsi sekaligus tugas utama birokrasi publik (pemerintah) adalah memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat (pelayanan prima). Dalam teori pelayanan publik, pelayanan prima (excellent service) dapat diwujudkan jika ada standar pelayanan minimal (SPM).


SPM adalah tolok ukur yang dipergunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pelayanan dan acuan penilaian kualitas pelayanan sebagai komitmen atau janji dari penyelenggara negara kepada masyarakat untuk memberikan pelayanan yang berkualitas. Dalam Rancangan Undang-undang Pelayanan Publik, standar pelayanan ini setidaknya-tidaknya berisi tentang: dasar hukum, persyaratan, prosedur pelayanan, waktu penyelesaian, biaya pelayanan, produk pelayanan, sarana dan prasarana, kompetensi petugas pemberi pelayanan, pengawasan intern, penanganan pengaduan, saran dan masukan, dan jaminan pelayanan. [1]


Kata kualitas memiliki banyak definisi yang berbeda dan bervariasi dari yang konvensional sampai yang lehih strategic. Menurut Yayasan Indonesia Emas berpendapat bahwa :


Definisi konvensional dari kualitas biasanya menggambarkan karakteristik langsung dari suatu produk seperti : performansi (performance), keandalan (realibility), mudah dalam penggunaan (easy of use), estetika (esthetics), dan sebagainya. [2]


Bagaimanapun para manajer dari perusahaan yang sedang berkompetisi dalam pasar global memberikan perhatian serius pada definisi strategic, yaitu :Definisi strategic menyatakan bahwa kualitas adalah suatu yang mampu memenuhi keinginan atau kebutuhan pelanggan (meeting the needs of customers) [3]


Kualitas seringkali diartikan sebagai kepuasan pelanggan. Dalam ISO 8402, kualitas didefinisikan sebagai totalitas dari karakteristik suatu produk yang menunjang kemampuannya untuk memuaskan kebutuhan yang dispesifikasikan atau ditetapkan.


Total wuality
adalah total philosophy, suatu paradigm total tentang perbaikan kontinyu dalam empat dimensi, yaitu : [4]
  1. Pengembangan perorangan dan professional
  2. Hubungan interpersonal
  3. Efektifitas managerial
  4. Produktivitas organisasi

Pengertian total philosophy diatas ialah bahwa kualitas bukanlah suatu program akan tetapi berakar dalam prinsip-prinsip seperti keyakinan, harapan, rendah hato, kerja keras, konsisten dalam tujuan, perbaikan, progress, nilai-nilai moral dan kebenaran yang harus menjadi buadaya kehidupan organisasi.

Apabila seluruh karyawan organisasi tidak menghayati prinsip-prinsip tersebut maka penerapan metode saja tidak cukup untuk dapat membuat produk, jasa dan hubungan kerja yang berkualitas. Organisasi harus menetapkan rencana-rencana dan menetapkan proses pengukuran, pemantauan, analisis dan peningkatan yang diperlukan agar menjamin kesesuaian dari produk, menjamin kesesuaian dari system manajemen kualitas, dan meningkatkan terus menerus efektifitas dari sistem manajemen kualitas.


Peningkatan kualitas dapat didefinisikan sebagai suatu metodologi pengumpulan dan analisis data kualitas, serta menentukan dan mengintepretasikan pengukuran-pengukuran yang menjelaskan tentang proses dalam suatu sistem industri, untuk meningkatkan kualitas produk, guna memenuhi kebutuhan dan ekspektasi pelanggaan. [5] Oleh sebab itu peningkatan kualitas merupakan aktivitas teknik dan manajemen melalui mengukur karakteristik kualitas dari produk, kemudian membandingkan hasil pengukuran dengan spesifikasi produk yang diinginkan pelanggan, serta mengambil tindakan peningkatan yang tepat apabila ditemukan perbedaan diantara kinerja aktual dan standar.


Vincent juga berpendapat bahwa terminology kualitas didefinisikan sebagai :


Konsistensi peningkatan atau penurunan variasi karakteristik kualitas dari suatu produk barang atau jasa yang dihasilkan, agar memenuhi kebutuhan yang telah dispesifikasikan, gunha meningkatkan kepuasan pelanggan internal maupun eksternal. [6]


Dengan demikian pengertian kualitas dalam konteks peningkatan proses adalah bagaimana baiknya kualitas suatu produk itu memenuhi spesifikasi dan toleransi yang ditetapkan oleh bagian disain dan pengembangan dari suatu perusahaan. Spesifikasi dan toleransi yang ditetapkan oleh bagian disain dan pengembangan produk harus berorientasi kepada kebutuhan dan ekspektasi pelanggan.


Menurut Garvin ada 5 (lima) perspektif kualitas yaitu pendekatan yang mewujudkan kualitas suatu produk : [7]
  1. Trancendental Approach
  2. Product-based Approach
  3. User-based Approach
  4. Manufacturing Approach
  5. Value-based Approach

Bagi Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Bangka Belitung, perspektif kualitas lebih mengarah kepada pendekatan user-based approach dan manufacturing approach. Hal ini dikarenakan
pengembangan sumber daya manusia aparatur dikaitkan dengan optimalisasi pelayanan publik serta Sebagai sumbangan pemikiran dalam meningkatkan kualitas SDM aparatur pada Jajaran Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Bangka Belitung guna mengoptimalkan pelayanan publik.

Kita harus memahami bahwa layanan (service) berasal dari orang-orang, bukan dari organisasi atau perusahaan.
Suatu layanan dapat terbentuk karena adanya proses pemberian layanan tertentu dari pihak penyedia layanan kepada pihak yang dilayani baik yang dilakukan atas dasar kesukarelaan masing-masing pihak (non-komersial), tujuan komersil ataupun karena orang-orang mempunyai keterikatan kerja dalam organisasi yang bertujuan komersil ataupun non komersil. [8]

Dengan demikian layanan itu mungkin diberikan karena satu pihak berkehendak membantu pihak lain secara sukarela, atau adanya permintaan dari pihak lain kepada satu pihak untuk membantunya secara sukarela. Pelayanan adalah suatu usaha untuk membantu menyiapkan (mengurus) apa yang diperlukan orang lain. [9]


Catherine DeVrye menyatakan bahwa pelayanan didalamnya terdapat unsur : [10]


S Self-esteem---Memberi nilai pada diri sendiri

E Exceed expectations---Melampaui apa yang diharapkan

R Recover---Rebut kembali

V Vision---Visi

I Improve---Peningkatan

C Care---Perhatian

E Empower---Pemberdayaan


Pelayanan adalah upaya untuk membantu menyiapkan, menyediakan atau mengurus keperluan orang lain. [11] Menurut startus keterlibatannya dengan lembaga yang dilayani dapat dibedakan adanya 2 (dua) golongan pelanggan : [12]
  1. Pelanggan eksternal : semua pelanggan yang berasal dari luar organisasi
  2. Pelanggan internal : yaitu para karyawan atau unit-unit lain didalam organisasi yang memperoleh pelayanan dari unit yang kita miliki.

Zeitthaml, Parasuraman dan Berry mengemukakan mengenai mutu pelayanan, ”The service quality can be defined as the extent of discrepancy between customers expectations or desires and their perception". [13]

Mutu pelayanan dibentuk oleh dua elemen yaitu : pelayanan yang diharapkan (expected service) dan pelayanan yang diterima (perceived service). Kedua elemen tersebut bila dibandingkan akan mengarah kepada penilaian mutu pelayanan yang diberikan, sebagaimana penilaian Parasuraman, et,al bahwa :


Jika kenyataan (perceived) lebih baik yang diharapkan (expected), maka layanan dapat dikatakan bermutu sedangkan jika kenyataan kurang dari yang diharapkan, maka layanan tidak bermutu. Dan apabila kenyataan sama dengan harapan, maka layanan disebut memuaskan. [14]


Dalam studinya Parasuraman menyimpulkan terdapat 5 (lima) dimensi SERVQUAL (dimensi kualitas pelayanan) sebagai berikut : [15]
  1. Tangibles, atau bukti fisik yaitu kemampuan suatu perusahaan dalam menunjukkan eksistensinya kepada pihak eksternal. Penampilan dan kemampuan sarana dan prasarana fisik perusahaan dan keadaan lingkungan sekitarnya adalah bukti nyata dari pelayanan yang diberikan oleh pemberi jasa. Yang meliputi fasilitas fisik (gedung, dan lain sebagainya), perlengkapan dna peralatan yang digunakan (teknologi), serta penampilan pegawainya.
  2. Reliability, atau keandalam yaitu kemampuan organisasi untuk memberikan pelayanan sesuai yang dijanjikan secara akurat dan terpercaya. Kinerja harus sesuai dengan harapan pelanggan yang berarti ketepatan waktu, pelayanan yang sama untuk semua pelanggan tanpa kesalahan, sikap yang simpatik, dan dengan akurasi yang tinggi.
  3. Responsiveness, atau ketanggapan yaitu suatu kemampuan untuk membantu dan memberikan pelayanan yang cepat (responsif) dan tepat kepada pelanggan, dengan penyampaian informasi yang jelas. Membiarkan konsumen menunggu tanpa adanya suatu alasan yang jelas menyebabkan persepsi negatif dalam kualitas pelayanan.
  4. Assurance, atau jaminan dan kepastian yaitu pengetahuan, kesopansantunan, dan kemampuan para pegawai perusahaan untuk menumbuhkan rasa percaya para pelanggan kepada perusahaan. Terdiri dari beberapa komponen antara lain, komunikasi (communicatioon), kredibilitas (credibility), keamanan (security), kompeten (competence), dan sopan santun (courtesy).
  5. Empathy, yaitu memberikan perhatian yang tulus dan bersifat individual atau pribadi yang diberikan kepada para pelanggan dengan berupaya memahami keinginan konsumen. Dimana suatu perusahaan diharapkan memiliki pengertian dan pengetahuan tentang pelanggan, memahami kebutuhan pelanggan secara spesifik, serta memiliki waktu pengoperasian yang nyaman bagi pelanggan. [cht]

_______________
  1. http://www.unila.ac.id/~fisip-admneg/mambo - Ilmu Administrasi Negara FISIP UnilaPowered by Mambo Generated: 26 May, 2008
  2. Vincent Gasperz Z, Manajemen Kualitas, PT Gramedia, Jakarta, 1997, hal 4
  3. Ibid
  4. Ibrahim Buddy, Total Quality Manajement, Percetakan Karya Unipress, Jakarta, 2000, hal 13
  5. Vincent Gasperz Z, Metode Analisis untuk Peningkatan Kualitas, PT. Gramedia, Jakart, 2003, hal 2
  6. Ibid
  7. M.N. Nasution, Manajemen Mutu Terpadu, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2001, hal 19
  8. Atep Barata, Dasar-dasar Pelayanan Prima, PT. Gramedia, Jakarta, 2004, hal 9
  9. Soetopo, Pelayanan Prima, LAN, Jakarta, 1999, hal. 4
  10. Catherine DeVrye, Good Service is Good Business (7 Strategi sederhana menuju Sukses), PT. Gramedia, Jakarta, 2001, hal 6
  11. Eko Supriyanto, Operasionalisasi Pelayanan Prima, LAN, Jakarta, 2001, hal 9
  12. Ibid, hal 11
  13. Zeithaml, Parasuraman, dan Berry, Delivering Quality Service, The Press Adividion of Macmillan, 1990, hal 19]
  14. Parasuraman dalam Lupiyoadi, Manajemen Pemasaran Jasa, Salemba Empat, Jakarta, 2001, hal 148
  15. Ibid





Sunday, December 14, 2008

Evaluasi Proyek

(Evaluasi Proyek : April 2007)
Feasibilitas suatu proyek dapat diukur dengan menggunakan berbagai macam tingkat kelayakan, antara lain Kelayakan teknis, kelayakan ekonomi dan finansial, kelayakan politis, dan kelayakan administratif. Untuk mengukur tingkat kesuksesan suatu proyek maka diperlukan studi, antara lain menggunakan studi kelayakan teknis dengan asumsi proyek tersebut sedini mungkin dapat diprediksi hasilnya sebelum proyek tersebut dijalankan.

Studi Kelayakan teknis berkaitan dengan pertanyaan apakah secara teknis, proyek tersebut dapat dilaksanakan ? dan secara efektif dapat menjawab atas pertanyaan sebagai berikut ;

Keputusan-keputusan apa yang harus diambil untuk memastikan terlaksananya efektifitas manajemen dan efektifitas penggunaan teknologi informasi ?

Siapa yang harus membuat keputusan-keputusan berkaitan dengan penggunaan Teknologi informasi ?

Bagaimana keputusan- keputusan ini dibuat dan dimonitor ?

Contoh : bagaimana manajemen penggunaan teknologi informasi agar dapat menghasilkan output yang maksimal, dapat membantu proses pengolahan data, pengambilan keputusan dan pemecahan masalah?

Kelayakan Teknis
Dua kriteria prinsip yang termasuk dalam katagori teknis adalah: efektivitas dan ketercukupan (adequacy). Efektif berarti proyek dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Tetapi, seringkali pencapain tujuan tidak selalu dapat diukur hanya dengan keberadaan proyek tersebut.

Sering banyak faktor yang lain ikut mempengaruhi, antara lain cara langsung dan cepat untuk memprediksi kelayakan teknis adalah dengan cara melihat apakah proyek tersebut secara teknis dapat dilaksanakan di tempat lain. Tetapi, perlu diwaspadai faktor-faktor lain yang mempengaruhi keberhasilan proyek tersebut, beberapa dimensi efektif dalam suatu proyek meliputi : langsung atau tidak langsung, jangka panjang atau jangka pendek, bisa dikuantitatifkan atau tidak, mencukupi atau tidak.

Proyek dikatakan berpengaruh langsung bila pengaruh tersebut memang menjadi tujuan proyek tersebut; pengaruh tidak langsung merupakan pengaruh ikutan, yang sebenarnya bukan menjadi tujuan proyek tersebut. Contoh, pengaruh langsung, jika optimalisasi penggunaan sistim infomasi dan komunikasi akan mempunyai dampak yang serius terhadap beberapa aspek antara lain; efisiensi waktu dan biaya, perubahan alat kerja (hardware) menjadi lebih terintegrasi, profesionalisme, dan budaya kerja.

Hal ini merupakan dampak dari tujuan yang harus dipenuhi sebagai alat pendukung terselenggaranya suatu proyek, tetapi bila pembangunan sistim informasi dan komunikasi tersebut juga dapat meningkatkan partisipasi dan respon positif dari masyarakat maka hal tersebut merupakan pengaruh tidak langsung.

Kategori pengaruh menjadi jangka panjang dan jangka pendek tergantung pada jenis program. Seberapa jauh jangka panjang suatu proyek, sangat relatif, berbeda dari satu program ke program lain. Sebagai logika umum, jangka panjang berarti jauh ke masa depan, sedangkan jangka pendek adalah waktu yang segera tiba. Contoh, Untuk jangka pendek, dibutuhkan kehandalan aparat atau profesionalitas dalam hal pemberian pelayanan kepada masyarakat, perubahan sistim kerja, dan lain-lain, tapi dalam jangka panjang tidak akan diperlukannya tenaga manusia untuk melakukan banyak pekerjaan yang akan mengkibatkan terjadinya penggurangan pegawai karena perubahan sistim.

Beberapa pengaruh dapat diukur secara kuantitatif, sedangkan sisanya perlu dicari cara lain. Contoh: perubahan hardware yang digunakan sebagai dukungan kinerja para pegawai, sedangkan perubahan pelayanan menjadi lebih cepat dan efektif sulit untuk dikualitatifkan. perubahan hardware dapat dikuantitatifkan, sedangkan perubahan pelayanan sulit untuk dikuantitatifkan.

Dalam hal ketercukupan: suatu proyek mungkin tidak dapat mencukupi hal-hal yang menjadi tujuan atau tidak cukup mengatasi permasalahan. contoh: proyek pengembangan sistim informasi dan komunikasi secara konseptual mempunyai efek positif dengan harapan terjadi evolusi dan perbaikan kinerja aparat birokrat. Jika efektif dan efisien hanya sebuah slogan tanpa diikuti perubahan dan paradigma serta prilaku aparat birokrat maka proyek tersebut akan menjadi sebuah hiasan mewah dan pelengkap dalam organisasi. [cht]